FintalkUpdate News

Biaya Transportasi Jabodetabek Makin Berat, Ini Tips Hemat yang Perlu Dicoba

Lila, seorang karyawan swasta berusia 28 tahun, menghabiskan lebih dari Rp1,2 juta per bulan hanya untuk ongkos perjalanan dari rumahnya di Bekasi Timur ke kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Setiap hari ia harus naik ojek online ke stasiun, lanjut KRL, lalu kembali menyambung ojek menuju kantor. Bila ada hujan atau keterlambatan, ia bahkan terpaksa naik taksi daring yang jauh lebih mahal.

Lila bukan satu-satunya. Survei Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia menunjukkan bahwa warga Jabodetabek menghabiskan sekitar 26 hingga 30 persen dari pendapatan bulanannya untuk transportasi. Angka ini jauh di atas batas ideal 15 persen menurut standar Bank Dunia.

Menurut Yoga Adiwinarto, Country Director ITDP Indonesia, tingginya pengeluaran ini disebabkan oleh belum optimalnya integrasi antar moda transportasi serta tarif yang tidak seragam. Warga seringkali harus berpindah hingga tiga moda dalam satu perjalanan, yang berarti harus membayar lebih dari sekali. Fragmentasi ini, menurutnya, menjadi penyebab utama mahalnya ongkos harian.

Untuk mengatasi hal tersebut, warga perlu strategi yang lebih cerdas dalam merencanakan perjalanan. Salah satu cara yang terbukti efektif adalah memanfaatkan langganan tiket terusan seperti Kartu Multi Trip (KMT) dari KRL atau paket bulanan TransJakarta. Bila digunakan secara rutin, biaya perjalanan bisa ditekan hingga 30 persen.

Strategi lainnya adalah dengan menghindari penggunaan ojek daring dari rumah ke stasiun. Sebagai gantinya, warga bisa menggunakan angkot lokal yang lebih murah. Di beberapa wilayah, warga bahkan memilih untuk bersepeda ke titik transit karena lebih hemat dan praktis.

Read More  Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia Tahun 2025: Tantangan dan Perbandingannya dengan Negara ASEAN

Waktu keberangkatan juga memengaruhi pengeluaran. Naik KRL atau TransJakarta di jam-jam awal sebelum pukul enam pagi memungkinkan penumpang menghindari tarif dinamis atau antrean panjang yang sering memaksa mereka naik transportasi yang lebih mahal.

Beberapa karyawan juga mulai menggunakan sistem berbagi kendaraan atau carpooling melalui grup kantor atau aplikasi seperti Nebengers dan TemanJalan. Cara ini tidak hanya menghemat ongkos, tetapi juga mengurangi jumlah kendaraan di jalan.

Sementara itu, pemerintah melalui program JakLingko berupaya mempercepat integrasi sistem transportasi publik di Jabodetabek. Namun menurut Yoga, percepatan penerapan sistem tarif tunggal antarmoda masih menjadi pekerjaan rumah besar. Ia menilai bahwa sistem seperti ini telah sukses diimplementasikan di berbagai kota dunia seperti Tokyo dan London, dan bisa menjadi solusi jangka panjang di Indonesia.

Di tengah kondisi saat ini, warga seperti Lila memilih untuk lebih fleksibel. Ia kini mengombinasikan perjalanan menggunakan sepeda, KRL, dan TransJakarta. Meski awalnya repot, lama-kelamaan kebiasaan ini terbentuk dan justru memberi banyak manfaat.

“Sekarang saya lebih hemat, dan tubuh juga jadi lebih aktif. Kalau dulu hampir selalu tergantung ojek, sekarang bisa atur sendiri ritmenya,” ujar Lila sambil tersenyum saat ditemui di Stasiun Sudirman.

Langkah-langkah kecil seperti ini menjadi bukti bahwa dengan penyesuaian gaya hidup dan pemanfaatan sistem yang ada, warga Jabodetabek masih bisa mengakali mahalnya biaya transportasi sambil menunggu solusi sistemik dari pemerintah.

Back to top button